TEMPO.CO, Hong Kong – Pemungutan suara atau referendum mengenai hak pilih universal Hong Kong telah memasuki hari terakhirnya. Menurut laporan BBC, lebih dari 700 ribu orang telah berpartisipasi dalam jajak pendapat online yang digelar selama 10 hari sejak 20 Juni kemarin. (Baca: Ratusan Ribu Warga Hong Kong Ajukan Referendum)
Jajak pendapat yang dilakukan oleh sebuah gerakan pro-demokrasi lokal Occupy Central ini mengajak warga untuk menggunakan hak pilih mereka lewat stus popvote.hk. Dalam referendum itu, warga diminta memilih satu dari tiga usulan cara memilih kandidat pemimpin kota Hong Kong. Di tahun 2017, warga Hong Kong akan diminta untuk memilih pemimpin mereka.
Sebagian besar dari mereka berharap, pemerintah Cina memberikan kebebasan untuk menentukan sendiri siapa pemimpin kota administratif periode mendatang. Memang, selama ini, sejak Hong Kong diserahkan dari pemerintah Inggris kepada pemerintah Cina pada tahun 1997 lalu, pemilihan pemimpin selalu ditentukan oleh Cina.
Sesuai peraturan yang berlaku di Hong Kong, semua calon pemimpin akan dipilih melalui komite nominasi. Namun, di mata para aktivis pendukung demokrasi, pencalonan tersebut dikhawatirkan akan lebih berpihak kepada pemerintah Cina
Hong Kong merupakan daerah administratif khusus yang berada di bawah pemerintahan Cina. Di bawah kebijakan Satu Negara Dua Sistem, Hong Kong memiliki otonomi sendiri, seperti pada sistem mata uang, hukum, bea cukai, imigrasi, dan peraturan jalan. Namun, masalah pertahanan nasional dan hubungan diplomatik tetap di bawah kendali Cina.
ANINGTIAS JATMIIKA | BBC
Terpopuler
Wanita Australia Tewas Kesetrum Laptop
Nama 'Harrietâ' Terlarang di Islandia
Dalam Sehari, Dua Bangunan di India Runtuh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar